Tradisi Ruwatan Cukur Rambut Gimbal ~ Dieng, Wonosobo
Salah satu tradisi di Desa Dieng Kecamatan Kejajar Kabubapaten
Wonosobo adalah Ruwatan Cukur Rambut Gimbal, Ruwatan berasal dari kata
ruwat (rumuwat) atau mangruwat yang berarti membuat tidak kuasa,
menghapuskan kutukan, menghapuskan kemalangan, noda, dan lain-lain.
Dalam “Ensiklopedia Nasional Indonesia”, ruwatan adalah usaha untuk
membebaskan manusia dari aib dan dosa dan sekaligus menghindarkan diri
agar tidak dimangsa Batarakala.
Awal mula adanya ruwatan ini tidak lepas dari salah satu dari tiga orang pengelana yaitu Kyai Walik, Kyai Karim, dan Kyai Kolodete yang dipercaya Masyarakat Wonosobo sebagai pendiri Kabupaten Wonosobo dalam rangka menyiarkan agama Islam di daerah tersebut. Ketiga tokoh tersebut masing-masing mempunyai
peran yang saling menunjang, Kyai Walik sangat erat hubungannya dengan cerita pembukaan atau babat alas Wonosobo dan perencanaan kota, Kyai Karim sangat berjasa dalam penataan dan peletak dasar pemerintahan, sedangkan Kyai Kolodete yang baurekso penduduk Wonosobo Utara seperti Garung, Kejajar, dan Setieng, sampai Dieng.
Kyai Kolodete ini dipercaya masyarakat Dieng sebagai tokoh spiritual, selain itu ia dikenal sebagai seorang yang sakti dan mempunyai ciri khas, rambutnya yang menggumpal, dalam istilah lokal disebut gembel atau gimbal. Di daerah Dataran Tinggi Dieng ini banyak anak yang ketika kecil mempunyai rambut gimbal dan orang menganggap bahwa anak-anak yang gimbal tersebut merupakan titipan Kyai Kolodete.
Proses penggumpalannya dapat saja terjadi sejak anak berusia sekitar 40 hari sampai dengan 6 tahunnan, disertai sakit, misalnya badannya panas, sakit kulit, sakit kepala, kejang-kejang, walaupun telah diobatkan tetapi tidak juga sembuh, maka orang tuanya berkesimpulan bahwa anaknya terkena mala berupa gimbal, seperti yang dialami oleh Anggun, yang berambut gimbal sejak umur dua tahun, pada waktu itu Anggun mengalami sakit kepala dan lama-kelamaan rambut Anggun menjadi gimbal. Orang menganggap anak gimbal tersebut merupakan titipan Kyai Kolodete.
Anak berambut gimbal di kawasan Dataran Tinggi Dieng dan sekitarnya hingga di lereng sebelah Barat gunung Sindoro dan gunung Sumbing diyakini keturunan Eyang Kyai Kolodete yang konon berambut gimbal. Anak-anak gimbal tersebut sering disebut anak sukerta (diganggu). Anak sukerta adalah anak yang dicadangkan menjadi mangsa dari batarakala. Agar kembali sebagai mana anak manusia yang wajar, maka harus disucikan atau dibersihkan dari sesukernya (gimbalnya). Proses menghilangkan sesuker gimbal itulah yang disebut Ruwatan. Ruwat berasal dari bahasa Jawa yang berarti “lepas” yaitu lepas dari karakteristik anak gimbal yang dicadangkan untuk sesaji Batarakala.
Ruwatan di Jawa merupakan upacara pembebasan bagi anak atau orang yang kelahirannya di dunia ini dianggap tidak menguntungkan, atau melakukan perbuatan-perbuatan terlarang apabila hal itu terjadi, anak atau orang itu diancam dimakan Batarakala. Ada dua golongan orang yang disebut nandhang sukerta. Pertama karena kodrat yang disandang atau yang dibawa sejak lahir. Kedua karena kelalaian perbuatan manusia. Seseorang yang termasuk sukerta akibat kodrat dari kelahiran di antaranya: ontang-anting (anak laki-laki tunggal), kembang sepasang (anak dua, perempuan semua), kembar (anak kembar, laki-laki atau
perempuan semua), dan lain-lain. Nandhang sukerta yang disebabkan karena kelalaian antara lain: orang yang ketika masak nasi, merobohkan dandang, tempat menanak nasi, orang menyukai duduk atau berdiri di tengah-tengah pintu, orang yang suka mengakui hak milik orang lain, orang yang membuang sampah lewat
jendela, dan lain-lain. Dalam hal ini, anak berambut gimbal termasuk dalam kategori karena kodrat.
Upacara ruwatan ini dapat dilangsungkan setelah adanya permintaan (petunjuk) dari anak gimbal tersebut dipenuhi. Anehnya apabila bebana tidak dipenuhi maka rambut gimbal yang telah dicukur akan tumbuh kembali atau ada gangguan fisik dan psykis.
Bebana yang diminta sangat beragam, ada yang minta telur ayam, pisang satu rip, ikan gereh, dan lain-lain. Pengalaman tahun lalu ketika ruwatan yang dilakukan di Gua Semar, karena bebana kurang gula jawa dan gethuk (gula merah dan gethuk), anak mengalami kejang-kejang hingga tidak sadarkan diri. Setelah
dipenuhi permintaan itu tidak berselang waktu lama sehat kembali.
Ada beberapa tahapan untuk melakukan ruwatan cukur rambut gimbal yaitu merencanakan dengan masak-masak, menentukan hari, memberi tahu kepada orang-orang, tetangga, ulama (kaum), memotong rambut dan selamatan(kenduri). Di dalam selamatan, masyarakat membaca ayat-ayat Al-Qur’an seperti pembacaan Surat Yassin pada waktu tahlilan, hal tersebut bertujuan untuk meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar diberi keselamatan dan kelancaran dalam pelaksanaan ruwatan. Waktu penyelenggaraan upacara pada malam hari, setelah Isya’ bersamaan dengan hari kelahiran (berdasarkan weton, hari dan pasarannya) atau hari yang dianggap baik menurut masyarakat setempat, yaitu dua atau empat hari setelah weton atau neptu anak yang bersangkutan. Adapun bulan yang dipakai untuk melaksanakan ruwatan yaitu bulan menurut perhitungan kalender Islam atau bulan yang dianggap baik yaitu bulan besar (Dzulhijah), Maulud, Bakdamaulud, Sapar, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah dan Syawal.
Beberapa yang menjadi inti dalam pelaksanaan upacara memotong rambut gimbal. Untuk itu perlu disediakan beberapa yang harus ada misalnya dengan adanya tumpeng yang terbuat dari nasi berbentuk kerucut melambangkan kekuasaan Tuhan, tumpeng rombyong menggambarkan alam seisinya. Lauk-pauk yang ditancapkan di tumpeng menggambarkan rambut gimbal. Tumpeng rombyong ditujukan kepada Kyai Kolodete yang berambut gimbal. Tumpeng kuning melambangkan kekuasaan Tuhan, ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, dan sebagainya.
Awal mula adanya ruwatan ini tidak lepas dari salah satu dari tiga orang pengelana yaitu Kyai Walik, Kyai Karim, dan Kyai Kolodete yang dipercaya Masyarakat Wonosobo sebagai pendiri Kabupaten Wonosobo dalam rangka menyiarkan agama Islam di daerah tersebut. Ketiga tokoh tersebut masing-masing mempunyai
peran yang saling menunjang, Kyai Walik sangat erat hubungannya dengan cerita pembukaan atau babat alas Wonosobo dan perencanaan kota, Kyai Karim sangat berjasa dalam penataan dan peletak dasar pemerintahan, sedangkan Kyai Kolodete yang baurekso penduduk Wonosobo Utara seperti Garung, Kejajar, dan Setieng, sampai Dieng.
Kyai Kolodete ini dipercaya masyarakat Dieng sebagai tokoh spiritual, selain itu ia dikenal sebagai seorang yang sakti dan mempunyai ciri khas, rambutnya yang menggumpal, dalam istilah lokal disebut gembel atau gimbal. Di daerah Dataran Tinggi Dieng ini banyak anak yang ketika kecil mempunyai rambut gimbal dan orang menganggap bahwa anak-anak yang gimbal tersebut merupakan titipan Kyai Kolodete.
Proses penggumpalannya dapat saja terjadi sejak anak berusia sekitar 40 hari sampai dengan 6 tahunnan, disertai sakit, misalnya badannya panas, sakit kulit, sakit kepala, kejang-kejang, walaupun telah diobatkan tetapi tidak juga sembuh, maka orang tuanya berkesimpulan bahwa anaknya terkena mala berupa gimbal, seperti yang dialami oleh Anggun, yang berambut gimbal sejak umur dua tahun, pada waktu itu Anggun mengalami sakit kepala dan lama-kelamaan rambut Anggun menjadi gimbal. Orang menganggap anak gimbal tersebut merupakan titipan Kyai Kolodete.
Anak berambut gimbal di kawasan Dataran Tinggi Dieng dan sekitarnya hingga di lereng sebelah Barat gunung Sindoro dan gunung Sumbing diyakini keturunan Eyang Kyai Kolodete yang konon berambut gimbal. Anak-anak gimbal tersebut sering disebut anak sukerta (diganggu). Anak sukerta adalah anak yang dicadangkan menjadi mangsa dari batarakala. Agar kembali sebagai mana anak manusia yang wajar, maka harus disucikan atau dibersihkan dari sesukernya (gimbalnya). Proses menghilangkan sesuker gimbal itulah yang disebut Ruwatan. Ruwat berasal dari bahasa Jawa yang berarti “lepas” yaitu lepas dari karakteristik anak gimbal yang dicadangkan untuk sesaji Batarakala.
Ruwatan di Jawa merupakan upacara pembebasan bagi anak atau orang yang kelahirannya di dunia ini dianggap tidak menguntungkan, atau melakukan perbuatan-perbuatan terlarang apabila hal itu terjadi, anak atau orang itu diancam dimakan Batarakala. Ada dua golongan orang yang disebut nandhang sukerta. Pertama karena kodrat yang disandang atau yang dibawa sejak lahir. Kedua karena kelalaian perbuatan manusia. Seseorang yang termasuk sukerta akibat kodrat dari kelahiran di antaranya: ontang-anting (anak laki-laki tunggal), kembang sepasang (anak dua, perempuan semua), kembar (anak kembar, laki-laki atau
perempuan semua), dan lain-lain. Nandhang sukerta yang disebabkan karena kelalaian antara lain: orang yang ketika masak nasi, merobohkan dandang, tempat menanak nasi, orang menyukai duduk atau berdiri di tengah-tengah pintu, orang yang suka mengakui hak milik orang lain, orang yang membuang sampah lewat
jendela, dan lain-lain. Dalam hal ini, anak berambut gimbal termasuk dalam kategori karena kodrat.
“ Batara adalah Dewa dan Kala adalah waktu. Jadi Batarakala adalah Dewa waktu”Tujuan Upacara Ruwatan Rambut Gimbal di Desa Dieng ini adalah memohon kepada Tuhan untuk menghilangkan mala yang mengenai anak tersebut, di samping juga berharap agar anak tersebut terbebas dari pengaruh kesaktian roh Kyai Kolodete. Untuk itu anak tersebut harus diruwat dengan mencukur rambutnya yang gimbal. Setelah diruwat diyakini masyarakat, anak tersebut akan memperoleh keselamatan dalam hidupnya.
Upacara ruwatan ini dapat dilangsungkan setelah adanya permintaan (petunjuk) dari anak gimbal tersebut dipenuhi. Anehnya apabila bebana tidak dipenuhi maka rambut gimbal yang telah dicukur akan tumbuh kembali atau ada gangguan fisik dan psykis.
Bebana yang diminta sangat beragam, ada yang minta telur ayam, pisang satu rip, ikan gereh, dan lain-lain. Pengalaman tahun lalu ketika ruwatan yang dilakukan di Gua Semar, karena bebana kurang gula jawa dan gethuk (gula merah dan gethuk), anak mengalami kejang-kejang hingga tidak sadarkan diri. Setelah
dipenuhi permintaan itu tidak berselang waktu lama sehat kembali.
Ada beberapa tahapan untuk melakukan ruwatan cukur rambut gimbal yaitu merencanakan dengan masak-masak, menentukan hari, memberi tahu kepada orang-orang, tetangga, ulama (kaum), memotong rambut dan selamatan(kenduri). Di dalam selamatan, masyarakat membaca ayat-ayat Al-Qur’an seperti pembacaan Surat Yassin pada waktu tahlilan, hal tersebut bertujuan untuk meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar diberi keselamatan dan kelancaran dalam pelaksanaan ruwatan. Waktu penyelenggaraan upacara pada malam hari, setelah Isya’ bersamaan dengan hari kelahiran (berdasarkan weton, hari dan pasarannya) atau hari yang dianggap baik menurut masyarakat setempat, yaitu dua atau empat hari setelah weton atau neptu anak yang bersangkutan. Adapun bulan yang dipakai untuk melaksanakan ruwatan yaitu bulan menurut perhitungan kalender Islam atau bulan yang dianggap baik yaitu bulan besar (Dzulhijah), Maulud, Bakdamaulud, Sapar, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah dan Syawal.
“ Mala adalah istilah untuk anak yang terkena sial, dalam bahasa Jawa mala artinya sial.Dalam prosesi upacara ruwatan ini, ternyata terdapat akulturasi antara nilai-nilai tradisi lokal dan nilai-nilai Islam, seperti halnya dalam upacara ini masih terdapat seseji-sesaji sebagai perlengkapan upacara yang menandakan sebagai tradisi lokal, sedangkan nilai Islamnya terdapat pada do’a-do’a yang di gunakan.
Bebana adalah meminta dengan belas kasihan “.
Beberapa yang menjadi inti dalam pelaksanaan upacara memotong rambut gimbal. Untuk itu perlu disediakan beberapa yang harus ada misalnya dengan adanya tumpeng yang terbuat dari nasi berbentuk kerucut melambangkan kekuasaan Tuhan, tumpeng rombyong menggambarkan alam seisinya. Lauk-pauk yang ditancapkan di tumpeng menggambarkan rambut gimbal. Tumpeng rombyong ditujukan kepada Kyai Kolodete yang berambut gimbal. Tumpeng kuning melambangkan kekuasaan Tuhan, ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar